“Di mana-mana orang kok pada nikah, sih?”, menjadi kalimat yang akhir-akhir ini sering terucap dari mulut saya setiap kali habis berselancar di media sosial. Bagaimana tidak? Buka media sosial logo kamera yang muncul orang-orang menikah dari berbagai belahan daerah di Indonesia. Buka media sosial logo huruf ‘F’ tidak jauh berbeda, bahkan tidak hanya muncul foto orang-orang menikah, foto-foto orang ‘baru menikah’ yang akhirnya ‘dikasih rezeki anak’ juga berseliweran di lini masa akun milik saya.
Mau pura-pura tidak
terganggu, tapi sebenarnya juga terganggu. Mau sok-sok tidak peduli, tapi
nyatanya saya juga jadi kepikiran. Dilema.
Padahal tahun ini,
saya baru menggenapkan usia di angka 24. Usia yang kata orang juga dilema.
Dibilang masih muda, tidak. Dibilang sudah tua, ya tidak juga. Jadi, sebenarnya
saya ini masih muda atau sudah tua? Jawabannya: tidak muda, juga tidak tua.
Mungkin ini yang kata orang disebut salah satu ciri-ciri quarter life crisis. Selalu mempertanyakan keadaan yang terjadi, namun tidak pernah mendapatkan sebuah jawaban yang pasti.
Melihat satu tahun
ke belakang. Rupanya banyak juga orang-orang di sekitar saya yang memutuskan
untuk menikah di usia 24. Mulai dari teman-teman di lingkaran terdekat, teman-teman
satu angkatan kuliah, teman-teman lama dari masa-masa sekolah, sampai teman-teman
yang sebatas kenal nama saja. Ternyata masa pandemi Covid-19 tidak menyurutkan
semangat teman-teman saya ini untuk memulai bagian kedua hidup mereka. Salut.
Tahun lalu, di usia
23 atau dua tahun lalu di usia 22, saya masih menjadi seoarang apatis garis
keras. Melihat orang-orang di sekitar saya yang mulai banyak menikah atau
mempunyai anak, cuma jadi angin lalu saja bagi saya. Dalam hati saya, “bodo amat orang mau pada nikah, pada
jungkir balik, toh bukan urusan saya juga.”
Tapi, itu dulu.
Satu sampai dua tahun yang lalu. Tahun ini, entah kenapa saya merasa lain. Kemana
saya yang apatis dua tahun lalu? Saya juga tidak tahu. Ada rasa yang mulai
mengusik setiap kali melihat teman, kerabat, atau kenalan yang menikah di tahun
ini.
Tekanan dari
keluarga juga sudah mulai saya rasakan. Padahal tekanan dari keluarga ini
datangnya juga tidak di tahun ini saja, namun sudah mulai ada sejak tiga sampai
empat tahun ke belakang. Perbedaannya benar-benar terasa di tahun ini. Apalagi
sejak usia saya resmi menjadi 24 di bulan Oktober lalu. Semua doa dan
pengharapan dari keluarga, teman, kerabat dan kenalan di hari saya
menggenapakan usia 24 itu, seragam. Semuanya mendoakan dan mengharapkan agar
saya dapat segera bertemu jodoh dan menikah. Aneh. Rasanya seperti semua orang
bersekongkol untuk mengirimkan doa dan pengharapan seperti itu kepada saya.
Yang lebih aneh, saya juga jadi ikut berharap doa dan pengharapan itu ada yang
sampai ke Tuhan.
Kenyataan juga
mulai menghantam ketika saya sadar bahwa kedua orang tua semakin hari semakin
menua. Keriput dan kerutan di mata mereka yang selalu saya lihat dari layar handphone setiap kali sedang video call. Atau, kilapan rambut mereka
yang terlihat semakin memutih menyadarkan saya bahwa waktu yang dimiliki orang
tua saya setiap hari semakin berkurang.
Lalu, apa dengan
semua situasi dan keadaan ini lantas membuat saya memutuskan untuk cepat-cepat
menikah? Ya, tidak juga. Saya masih cukup waras untuk berpikir logis bahwa
memutuskan cepat-cepat menikah bukan satu-satunya solusi untuk semua masalah
dan situasi yang sedang saya hadapi sekarang.
Ini bukan berarti
saya menganggap mereka yang memutuskan untuk cepat-cepat menikah tidak berpikir
secara logis, ya. Bukan. Siapa saya berhak berbicara seperti itu? Hanya saja, pekerjaan
rumah yang menjadi prioritas saya masih banyak. Bukan sekedar menikah, menikah,
dan menikah saja. Saya masih harus menyelesaikan pendidikan master yang sedang
saya jalani sekarang. Saya juga masih ingin menikmati kehidupan dunia kerja.
Toh, saya juga yakin orang tua akan ikut berbahagia jika saya mampu
menyelesaikan pendidikan dan menikmati pekerjaan saya.
Tapi ya, saya juga
tidak akan menyangkal kalau di usia 24 ini saya memang sudah mulai terusik
dengan kata ‘menikah’. Saya juga tidak menyangkal kalau di salah satu ruang
dalam lubuk hati saya juga sudah mulai mendambakan kehadiran seseorang.
Memiliki seseorang yang dapat saya jadikan kawan bercerita, berkeluh kesah, dan
sebagai tempat bersandar dari semua beban dan masalah yang tidak bisa saya
ungkapkan bebas kepada semua orang termasuk kepada kedua orang tua sekali pun,
juga sudah mulai saya pertimbangkan untuk masuk ke dalam daftar keinginan saya
di usia 24 ini.
Semuanya memang butuh
proses. Dan, yang saya inginkan adalah dapat menikmati semua proses itu. Bahkan
bagi seorang bayi untuk bisa berjalan pun ada prosesnya. Dimulai dari belajar
tengkurap, merangkak, duduk, berdiri, berjalan merambat, sampai akhirnya bisa
berjalan sendiri tanpa bantuan apa pun.
Usia 24 ini juga
merupakan bagian dari proses yang saya jalani untuk menuju bagian kedua dalam
hidup saya. Perjalanan saya masih panjang dan mungkin saya masih butuh beberapa
waktu untuk sampai kepada itu. Menikah memang penting. Tapi, menemukan seseorang
yang mau menikah dengan saya juga adalah bagian penting lainnya.
Bulan Oktober 2021 nanti, usia saya akan genap seperempat abad. Jika ternyata saya masih belum menemukan seseorang untuk memulai bagian kedua dari hidup saya, artinya doa dan pengharapan dari semua orang di hari saya menggenapkan usia 24 lalu tidak ada yang sampai kepada Tuhan. Silakan usaha lebih keras lagi tahun depan atau tahun-tahun berikutnya untuk mendoakan saya, ya. Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar