Waktu terus berjalan. Kini aku sudah ada di tahun terakhirku di sekolah menengah pertama. Aku mulai disibukkan dengan kegiatan belajar yang frekuensinya bertambah menjadi dua kali lipat, namun aku tak kehilangan waktu untuk bermain bersama sahabat-sahabatku. Ya, masa-masa seperti itu adalah masa di mana anak seusiaku masih belum terlalu memikirkan pelajaran.
Pada saat itu, anak-anak seusiaku juga sedang digandrungi demam berbagai layanan media sosial. Salah satunya yang paling populer saat itu adalah Facebook. Begitu pun dengan aku yang juga sedang digandrungi demam media sosial kala itu. Setiap saat ada waktu luang selalu aku habiskan untuk bertualang di Facebook. Sebenarnya banyak manfaat yang bisa kita dapatkan melalui media sosial seperti Facebook ini. Salah satu manfaat yang aku rasakan adalah, aku dapat menjumpai teman-teman lamaku di sekolah dasar dulu tidak terkecuali "dia". Aku merasa sangat senang. Aku berteman dengannya di Facebook. Facebook membuatku lebih mudah untuk berkomunkiasi dengannya walaupun kami saling berjauhan.
Namun ternyata, dari Facebook juga aku merasakan sakit hati untuk pertama kali. Melalui Facebokk aku mengetahui bahwa "dia" ternyata sudah menjalani hubungan dengan seorang gadis cantik di sekolahnya. Aku merasakan perasaan ini untuk pertama kalinya. Rasanya benar-benar seperti ada beban berat menimpa tubuhku. Aku tak tahu apakah aku terlihat menyedihkan karena kejadian ini, namun yang pasti sejak saat itu aku memutuskan untuk menyerah akan perasaanku.
Beberapa bulan lagi aku akan menghadapi ujian nasional. Aku mencoba memfokuskan diriku hanya untuk belajar. Itu semua kulakukan karena aku sedang mencoba membuang perasaan terhadapnya, namun sesuatu yang aneh terjadi. Aku tetap saja masih memikirkannya. Aku sudah memperingatkan diriku bahwa aku mengalami sakit hati ini karena dia, karena ulahnya. Namun yang terjadi, aku tetap masih memikirkannya. Perasaan seperti ini benar-benar membuatku gila.
Setahun sudah berlalu. Perasaanku masih tetap sama. Walaupun aku sadar bahwa aku sudah pernah merasakan sakit karenanya, tetapi perasaan itu tetap tidak berubah. Saat ini dia sudah tidak bersama lagi dengan gadis itu. Aku tidak munafik, ini membuatku merasa sangat senang.
Selama masaku di sekolah menengah pertama, aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran, tidak seperti teman-temanku lainnya. Mungkin ini karena perasaanku padanya. Teman-temanku sering berkata padaku bahwa aku terlihat begitu lugu karena tidak pernah berpacaran dan hanya memendam rasa pada seseorang yang bahkan sudah tidak pernah kutemui. Aku hanya membalas dengan senyuman setiap ada teman yang mengatakan hal itu padaku.
Semasaku di sekolah menengah atas aku mulai berpikir, apakah aku akan mulai berpacaran seperti yang teman-temanku lakukan. Namun, perasaanku ini seakan membelengguku dalam sebuah lubang besar yang membuatku tidak bisa keluar dari dalam sana. Tahun pertama masa sekolah menengah atasku telah usai. Aku melaluinya dengan perasaan yang lebih berwarna karena aku begitu menikmatinya.
Memasuki tahun keduaku. Aku mungkin sedikit lebih dewasa. Aku mulai memikirkan bagaimana kehidupanku selama ini. Saat aku memikirkan perasaanku, aku terdiam sejenak. Ternyata aku sudah memendam perasaan ini selama kurang lebih lima tahun. Lima tahun? Apakah waktu yang lama? Entah mengapa aku berpikir bahwa perasaanku ini benar-benar konyol. Apakah ini cinta? Cinta macam apa ini? Aku menyukai seseorang selama lima tahun tanpa orang itu tahu perasaanku? Pertanyaan-pertanyaan terus muncul di pikiranku. Apakah yang aku lakukan selama ini benar? Apa terus-terusan memendam perasaan ini adalah benar? Aku hampir gila karena semua pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku terus memikirkan setiap pertanyaan yang muncul di pikiranku itu sampai suatu pertanyaan gila muncul dalam otakku. "Apakah lebih baik aku menyatakan perasaanku ini padanya?" Aku berteriak memaki diriku sendiri. Apa yang baru saja aku pikirkan? Bisa-bisanya terpikir kata-kata itu olehku. Namun tiba-tiba aku berkata, "Apa salahnya menyatakan perasaan?" Lagi-lagi aku terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutku. Kemudian aku kembali berkata "Kalau hanya menyatakan tentu tidak apa-apa, kan?" Aku memukul kepalaku sendiri menyadari kata-kataku. Aku rasa aku benar-benar sudah gila.
Masih sibuk dengan pikiran-pikiran yang muncul dan kata-kata yang keluar dari mulutku, tanpa sadar aku mengetik sesuatu di handphone-ku. Terlihat seperti puisi. Saat aku sadar apa yang aku tulis. Aku langsung berteriak tak percaya dengan apa yang aku lakukan. Aku mengetikkan kata-kata yang kurangkai menjadi puisi yang intinya adalah semua perasaanku kepadanya. Aku masih menenangkan diriku. Sekali lagi aku berpikir. Apakah benar ini yang harus aku lakukan? Aku benar-benar dilema. Setelah menenangkan diriku, entah ada kekuatan darimana tiba-tiba aku menekan tombol "kirim". Aku berteriak histeris. Apa yang sudah aku lakukan? Aku sudah gila. Aku pasti sudah gila!
Untuk sesaat aku tak berani menatap layar handphone-ku. Aku menyembunyikannya di bawah bantal. Kemudian suara hatiku berkata "Tenang saja, apa yang kau lakukan sudah benar. Kau mana mungkin harus terus memendam perasaanmu. Akan lebih baik jika kau mengatakannya. Kau akan merasa lega. Lagi pula tidak ada salahnya wanita dulu yang menyatakan perasaannya. Toh ini juga sudah banyak terjadi di zaman seperti sekarang ini" Sesaat aku memikirkan apa yang dikatakan suara hatiku dan berpikir itu semua ada benarnya juga. Akhirnya aku pun mulai bisa mengontrol diriku.
Setelah semua kegilaan yang aku lakukan, apa yang akhirnya aku dapatkan? Balasan cinta darinya? Mungkin pertanyaan itu tidak akan pernah bisa aku jawab. Benar. Bahkan setelah aku menjadi gila karena terus-menerus memikirkan cara untuk menyatakan perasaanku padanya, dia tetap tidak membalas perasaanku. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar tidak tahu maksudku saat aku mengirimkan puisi itu padanya atau dia hanya berpura-pura tidak tahu. Aku benar-benar tidak habis pikir jika dia memang benar tidak tahu. Mengapa dia bisa begitu tidak peka? Yang pasti, aku berhasil menorehkan kembali luka di hatiku karena kegilaanku ini.
Setelah mengetahui perasaannya yang juga tidak berubah padaku. Aku berpikir untuk menghentikan semua ini. Aku berpikir untuk pensiun dan menyerah atas perasaanku padanya. Aku sudah bertekad. Namun, apakah aku benar-benar melakukannya? Apa aku benar-benar menyerah padanya? Jawabannya adalah tidak. Benar, jawabannya tidak karena aku tidak berhasil. Aku pun tidak tahu, seberapa besar aku mencoba untuk menyerah, perasaan itu tetap tidak mau hilang.
Hingga sampai pada titik puncak lelahku. Aku benar-benar bertekad untuk melakukannya. Aku memulainya dengan menghapus semua kenangan sekecil apapun tentangnya. Walaupun ini benar-benar sulit, aku tetap berusaha untuk melakukannya. Akhirnya sedikit demi sedikit aku merasa bahwa perasaan itu mulai berangsur hilang.
Aku memang berhasil. Aku berhasil menghilangkan perasaan itu walau hanya sedikit, namun aku tetap tidak berhasil menghilangkan perasaan itu untuk sepenuhnya. Hingga saat ini aku rasa perasaan itu masih tersisa di antara kepingan-kepingan hatiku. Bahkan di tahun ketujuh sejak aku memulai perasaan ini, aku merasa perasaan itu benar-benar masih menghinggapi lubuk hatiku sampai dengan detik ini.
-END-
Aku memang berhasil. Aku berhasil menghilangkan perasaan itu walau hanya sedikit, namun aku tetap tidak berhasil menghilangkan perasaan itu untuk sepenuhnya. Hingga saat ini aku rasa perasaan itu masih tersisa di antara kepingan-kepingan hatiku. Bahkan di tahun ketujuh sejak aku memulai perasaan ini, aku merasa perasaan itu benar-benar masih menghinggapi lubuk hatiku sampai dengan detik ini.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar